MENGUKUR NILAI MANUSIA

gambar dari thenextweb.com

Mengukur nilai manusia. Bukan, tulisan ini bukan mau bicara panjang lebar tentang akhlak atau hal-hal agamis lainnya. Stop berprasangka. Tulisan ini lebih berkaitan dengan kasih skripsi tak sampai saya semasa kuliah dulu, sebagai mahasiswa sebuah fakultas ekonomi jurusan akuntansi. Sebuah jurusan yang menjanjikan kebotakan karena pusing menghitung harta yang bukan miliknya dan tak pernah dilihat wujudnya.

Anyway, di tahun terakhir saya kuliah, masa yang sama ketika saya harus mulai berpikir mau nulis apa untuk tugas akhir maha agung bernama skripsi itu, terjadi perubahan besar dalam standar akuntansi keuangan komersial. Standar akuntansi yang sudah saya pelajari dengan tekun (pfft!) selama tiga tahun, GAAP (Generally Accepted Accounting Principal) keluaran FASB (Financial Accounting Standard Board)-nya US akan digantikan oleh IFRS (International Financial Reporting Standard) hasil karya IASB (International Accounting Standard Board). Kebayang dong ya gimana syok-nya. Lalu mau diapain hasil kuliah saya selama tiga tahun itu??

Tapi, tapi, di antara IAS-IAS (International Accounting Standard) yang termaktub dalam IFRS, ada satu hal yang nge-heitz dan menarik perhatian saya, yaitu IAS No 38 Intangible Assets. Sebenarnya IAS ini mengatur tentang pencatatan asset perusahaan yang berupa paten, hak cipta, hasil riset, hak eksplorasi dan eksploitasi atau asset sejenisnya yang memang tidak kasat mata. Tapi ya, ketika sekedar membaca judul IAS itu (ketauan lah kalo saya ini tukang-cuma-baca-judul-langsung-komen), saya berpikir tentang sumber daya manusia, aset nyata yang tidak pernah tercatat sebagai aset di perusahaan manapun. Sumber daya manusia hanya tercatat sebagai beban, sejumlah nilai uang yang dikeluaran untuk membayar gaji atau upah mereka. Dengan begitu, para pegawai yang brilian dan punya kemampuan meningkatkan kekayaan perusahaan itu bukanlah aset, melainkan sebuah beban bagi perusahaan. Aneh kan ya, bukankah satu pegawai yang cerdas adalah aset yang lebih berharga dibandingkan sepuluh pegawai yang tidak kompeten? Jadi bukankah seharusnya ada sistem untuk menilai value mereka sebagai asset perusahaan?

Yah, pertanyaan ini sebenarnya bisa dijawab kalau mengutip definisi asset. Kira-kira, asset itu adalah manfaat ekonomi di masa depan yang cukup pasti diperoleh atau dikuasai/dikendalikan oleh perusahaan pemilik asset itu sebagai akibat dari transaksi yang dilakukan di masa lalu.  Transaksi di masa lalu itu bisa berupa tindakan jual beli, sewa, atau yang lain, you name it, yang menyebabkan si perusahaan punya hak atas asset itu. Masalahnya, dalam hubungannya dengan pengakuan sumber daya manusia sebagai asset, perusahaan tidak akan pernah punya hak atau kuasa penuh terhadap sumber daya manusia yang mereka pekerjakan. Suatu perusahaan tidak mungkin bisa seenaknya menjual karyawan mereka yang dianggap sudah tidak memberikan manfaat ekonomi lagi. Perusahaan juga tidak dapat secara yakin memperkirakan manfaat ekonomi yang akan diperoleh dari pegawai-pegawai mereka. Dalam perbincangan saya dengan mantan auditor yang kini bekerja di PKRB dan juga diuji kompre tentang hal ini (berinisial MHL), kami sependapat bahwa tidak tercatatnya pegawai sebagai asset lebih disebabkan pada kesulitan pengukuran nilai pegawai itu sebagai asset. Intinya, kita semua ini mau dihargain berapa sih, waktu dicatat dan dilaporkan di laporan keuangan?

Atlet : Aset Klub Olah Raga?

Agak sulit memang membayangkan mencatat pegawai-pegawai perusahaan pada umumnya. Sulit mengukur nilainya. Tapi mari coba bayangkan atlet-atlet di klub olah raga: sepak bola, basket, badminton, atau klub lain. Atlet itu direkrut dengan nilai dan jangka waktu kontrak yang jelas. Klub juga bisa agak-agak yakin bahwa keberadaan atlet itu di klub akan mampu mendatangkan pemasukan bagi klub, entah itu dari sponsorship, hadiah turnamen (kalo atlet yang direkrut itu jago banget), sampe yang sesimpel pemasukan dari tiket nonton pertandingan yang digelar di stadion klub. Klub juga seolah punya hak atau kuasa pada diri si atlet, karena bisa melakukan jual beli atlet di bursa transfer (di sepak bola bisa kan ya? ga tau di olah raga lain). Jadi, menurut saya, atlet-atlet ini sebenernya bisa aja dicatat sebagai asset, nilainya diukur dari besaran kontrak yang dia tanda tangani, lalu diamortisasi (depresiasi atau penyusutan nilai untuk asset tidak berwujud) sepanjang jangka waktu kontraknya. Misalnya, Christiano Ronaldo punya kontrak tiga tahun dengan Real Madrid dengan nilai 51 juta euro, sebelumnya dia dibeli dari Manchester United sebesar 110 juta euro. Maka si CR7 ini akan dicatat sebagai asset Real Madrid dengan nilai 161 juta euro dan akan diamortisasi selama tiga tahun. Kalau Christiano Ronaldo ini dijual, yang katanya nilai jualnya sampai 300 juta euro, maka 300 juta euro ini bisa dicatat sebagai keuntungan di luar usaha dari penjualan asset (CMIIW, dear accountants!).

Aset yang Dikembangkan Sendiri

gambar dari www.ibs-sp.com.br

Lalu bagaimana dengan asset yang dikembangkan sendiri oleh perusahaan? Di berbagai perusahaan, hampir pasti ada biaya riset dan pengembangan untuk menciptakan produk baru. Dana yang keluar untuk R&D umumnya akan tetap dianggap sebagai ‘beban’, uang yang menguap hilang,  sampai perusahaan berhasil menciptakan setidaknya prototype produk sebagai hasil dari kegiatan riset dan pengembangan yang dilakukan. Begitu ada prototype, perusahaan berhak mengkapitalisasi biaya-biaya yang dikeluarkannya selama proses R&D menjadi aset milik perusahaan. Terkait sumber daya manusia, jika suatu perusahaan membangun dan mengembangkan sumber daya manusianya sampai memenuhi standar yang diharapkan, harusnya manusia-manusia ini juga diakui sebagai asset dong ya..

Say, klub bulutangkis buka audisi untuk atlet-atlet muda, lalu memberikan pembinaan buat mereka sampai si atlet bisa memenuhi kualifikasi atau standar yang diharapkan. Setelah si atlet ‘jadi’, klub kemudian merekrut mereka secara professional pake kontrak. Seandainya  klub ini mencatat atlet-atlet ini sebagai aset, berapa nilai si atlet? Jelas ga hanya sebesar nilai kontraknya, karena klub sudah mengeluarkan biaya-biaya pengembangan, yang boleh dikapitalisasi menjadi nilai aset ketika klub berhasil menciptakan ‘produk’ baru dari proses pengembangan itu.

Contoh lain yang mungkin akan lebih gampang dipahami, terutama oleh para fans K-Pop, adalah trainee-trainee di perusahaan entertainment. Bukan rahasia lagi kalau satu perusahaan entertainment besar bisa punya buanyaak trainee, yang nantinya diseleksi untuk kemudian didebutkan. Biaya-biaya yang timbul selama masa trainee adalah tanggungan sepenuhnya perusahaan entertainment. Tapi, begitu si trainee resmi debut jadi artis, terciptalah aset baru milik perusahaan entertainment. Sungguh, saya sering merasa kalau artis-artis ini adalah aset utama perusahaan entertainment. Perusahaan entertainment ini bisa dibilang ‘memiliki’ atau ‘menguasai’ si artis, bisa bebas mengatur beban kerja si artis. Aliran manfaat ekonomi dari si artis-artis ini juga mungkin bisa saja diproyeksikan. Jumlahnya juga pasti ga sedikit, secara segala atribut K-Pop itu mahaaal (lalu curhat T_T).

gambar dari www.allkpop.com

So, menurut kalian, seberapa besar harusnya SM Entertainment mengukur dan menetapkan nilai Super Junior, SNSD dan EXO dalam laporan keuangan mereka?

Leave a comment