Ayo Menulis Bunga Rampai !!!

“Menulis adalah bekerja untuk keabadian” – Pramoedya Ananta Toerforum-lingkar-pena-flp-46-728

Sumber: Langit Pena

Hai guys !! udah lama ya kayaknya kita ga besua….#preeeet… hahahaha

Kali ini gw sebenarnya mau nulis sekalian promosi sih, gapapalah ya jarang-jarang lho gw promosi (promosiin diri sendiri aja jarang kok) :p

Dikarenakan judulnya udah agak ngehe ngeselin dan sedikit keple, so gw akan nulis dengan bahasa yang agak nyantai ya biar kesannya seriusnya ilang, tapi kalo gw sih orangnya pengen banget diseriusin #tsaaaaah…

Merujuk pada judul di atas, kita dari bidang bilateral kembali ingin menerbitkan bunga rampai edisi kedua. Sebagaimana mentemen tahu edisi pertama kita sukses mendapatkan apresiasi dari Kepala Badan (sumpah susah lho dapet apresiasi sekelas Guru Besar kayak beliau). Tema dari bunga rampai kali ini ga jauh-jauh dari internasional (inget ga mesti ekonomi lho). Buat mentemen yang pengen bahas sisi politik, sosial even hukum more than welcome banget buat ikut kontribusi.

Mungkin dari beberepa mentemen ada yang merasa kesulitan untuk menentukan topik, tema, atau judul yang akan diangkat (gapapa been there done that kok). Beberapa tips berikut mungkin akan sedikit membantu mentemen dalam menentukan tema yang bisa diangkat nanti. Kalo gw sendiri patokannya cuman dua sih, pertama angkat topik yang lagi hot, alesannya simple banget, topik yang lagi hot bahannya gampang dicari, soalnya pasti banyak yang bahas. Tapi nih ya, tulisan mentemen jadi agak garing kalo mentemen ga punya diferensiasi yang jelas dengan tulisan yang lainnya, itu sih kesulitannya.

Oke, patokan yang kedua adalah cari topik yang sedikit kontroversi, alesanya simple, orang akan dengan mudah menikmati tulisan kita dan ya gitu deh nama kita jd diinget-inget terus, moga-moga aja kan ya ada yang ngajak kenalan, eh siapa tau jodoh, iya apa iya hahahaa. Cuman ya gitu topik yang kontroversi, datanya ga banyak, saran gw sih ikut forum-forum atau blog ekonom yang kontroversial aja, mayan bantulah dikit-dikit.

Ga lengkap rasanya gw ngomong ga pake contoh ntar dikira cuman gombal doank. Nih misal ya untuk yang pertama, topik yang lagi hot, mentemen bisa bahas efek global devaluasi Yuan khususnya Indonesia, percaya deh banyak yang banget yang bahas ini, dan datanya so easy to get gitu deh alias datanya ga jual-jual mahal kayak cewe-cewe yang suka nongkrong di PIM, PS, atau Sency gt :p.

Nah untuk topik yang kontroversial misal nih ya, pasti donk mentemen dah tau kalo neraca perdagangan kita ama Cina negatif molo selama beberapa tahun ini, taaaaapiii ya taaapiiii pernah denger ga dengan metode perhitungan tertentu sebenarnya neraca perdagangan kita dengan Cina itu surplus sampe angka 400 Juta Dollar. Gile kan ???!!! gw aja sempet syok pas bacanya ampe gw telusuri gimana nih orang bisa ngitung kayak gt dan ternyata bener kita surplus lho dengan Cina. Nih gw kasi cluenya ya, biar lo pada belajar juga ga cuman terima jadi hahahaa, coba cari mengenai global value chain dan value added iphone and boom lo bakal itung ulang bahwa kita dengan Cina itu surplus 400 Juta Dollar.

Cuman ya gitu datanya agak susah dan jual mahal pake banget even cewe-cewe yang suka nongkrong di PIM, PS atau Sency gitu aja kalah jual mahalnya. Pas nya sih nih datanya kayak cewek-cewek Batak gitu yang umurnya masih 20an sumpah jual mahalnya kemahalan pake banget hahahaa.

Ga pas lagi rasanya kalo gw ga sekalian jelasin manfaat dari NULIS. Guys percaya ama gw banyak banget manfaatnya mulai dari nama lo akhirnya terbebas dari jerat stigma buruk kayak kerjaan cuman ngerokok doank, cabut ke kosan buat tidur, ampe ke gap maen PS dan akhirnya jd AGAK POSITIF DIKIT hahaha, sampe bisa jadi kredit buat lo yang mau apply beasiswa dll. Lebih dari itu yang paling penting kemampuan lo melakukan analisa makin keasah dan terus keasah, mulai tahu sumber-sumber data, lo tau pandangan orang lain akan sebuah issue jadi lo ga keras kepala hanya sama satu hal and even beyond that analisa lo akan sebuah issue menjadi semakin berkembang dan pada saatnya lo disuruh buat intervention point atau kawan-kawannya, bahan yang lo buat jadi semakin komprehensif.

So gitu dulu kali ya guys !! don’t forget ya akhir pendaftaran akhir Agustus ini, cuman kasi judul ama kerangka tulisannya aja kok. Cemunguuuddddh…..

Dilema Produk Dalam Negeri : Antara Free Trade dan Protectionism

Dilema Produk Dalam Negeri : Antara Free Trade dan Protectionism

protectiofreetrade

Pikiran ini diawali dari terpapar berbagai informasi tentang kerja sama perdagangan bebas Indonesia, baik kerja sama yang sudah berjalan maupun yang masih dinegosiasikan, baik yang dibangun secara bilateral maupun dalam lingkup regional. Ada dua kubu dalam isu ini: yang liberal menjadi pendukung kebijakan pembukaan pasar seluas-luasnya demi optimalisasi manfaat ekonomi, sedangkan kubu yang lain gigih menahan agar sektor-sektor industri tertentu tetap terlindung dari perdagangan bebas karena dianggap belum cukup kuat dan mungkin kolaps jika harus bersaing dengan industri asing yang telah lebih mapan.

Lalu saya membaca salah satu chapter dari buku karangan Ha-Joon Chang yang berjudul “23 Things They Didn’t Tell You about Capitalism”. Chapter ketujuh yang diberi judul “Free-Market Policies Rarely Make Poor Countries Rich” itu secara khusus bercerita tentang kebijakan perdagangan bebas dan mempertanyakan statement bahwa sistem perdagangan bebas akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang optimal bagi suatu negara. Bahwa (developed) rich countries telah mencapai posisinya saat ini dengan menerapkan kebijakan perdagangan bebas tersebut.  Poin yang disampaikan Ha-Joon Chang tentang hal ini adalah bahwa jika dirunut lebih lanjut ke belakang, sampai pada tahun 1780-1800an, negara-negara yang saat ini tergolong sebagai developed country, justru membangun ekonominya melalui kebijakan protectionism yang sangat kuat, bukan kebijakan perdagangan bebas yang saat ini dianggap sebagai yang terbaik dalam pembangunan ekonomi negara. Pondasi perekonomian mereka adalah proteksionisme, bukan perdagangan bebas. Ha-Joon Chang memperkuat argumentasinya dengan mengambil contoh China dan Amerika Serikat.

China adalah salah satu kekuatan ekonomi besar dunia yang telah dikenal sebelumnya sebagai negara yang tertutup dan protektif terhadap industri dalam negerinya. Spesifik pada kasus Amerika Serikat, Ha-Joon Chang menunjukkan bahwa perekonomian Amerika Serikat, dibangun sejak 300 tahun yang lalu dengan proteksi-proteksi yang diberikan oleh para pengambil kebijakan, termasuk Treasury Secretary, Alexander Hamilton; George Washington; Abraham Lincoln; dan Benjamin Franklin. Hamilton berpandangan, yang juga sejalan dengan pemikiran George Washington, bahwa infant industries, seperti industri-industri Amerika Serikat pada saat itu harus dilindungi dan didukung oleh pemerintah sampai industri tersebut sanggup untuk berdiri sendiri. Di sisi lain, Abraham Lincoln, yang meneruskan kebijakan Hamilton, telah dikenal sebagai protectionist yang menetapkan tariff sangat tinggi pada masa kepemimpinannya. Benjamin Franklin juga melakukan proteksi terhadap produk Eropa untuk melindungi produk industri Amerika Serikat dari produk sejenis dari Eropa yang unggul karena upah yang lebih rendah.

Sejatinya saya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Alexander Hamilton, bahwa pemerintah harus membantu, mendukung dan jika memungkinkan melindungi infant industries agar mampu survive dalam persaingan. Pertanyaannya, sampai sejauh mana dukungan yang harus diberikan? Sampai kapan? Bagaimana menilai bahwa infant industry tersebut telah tumbuh dan mampu bertahan sendiri tanpa dukungan pemerintah lagi? Bagaimana jika nanti infant industry yang didukung tersebut turns out to be old adolescent, yang tidak akan pernah sanggup bertahan tanpa support dari pemerintah?

20130902_protectionism

Peningkatan Tarif Impor

Kementerian Keuangan baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 132 Tahun 2015 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor. PMK tersebut dirumuskan oleh Tim Tarif yang beranggotakan perwakilan dari Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Dalam PMK tersebut diatur kenaikan tariff impor beberapa produk konsumsi. Rata-rata tariff bea masuk impor atas barang-barang konsumsi itu naik 5 persen. Karena targetnya memang barang konsumsi alias barang jadi, makanya banyak produk-produk makanan yang tariff impornya naik. Salah satunya teh dan kopi impor; jadi sekarang kita ngopi-ngopinya di An*mali aja, yang mengklaim kopi mereka 100% asli produk lokal, trus rajin-rajin deh bikin konser atau kegiatan apapun di hotel kece, biar bisa ngeteh Tw*nnings grateess.. Wine, vermouth, whiskey, rum adalah produk yang kena tariff impor paling emejing: 90-150 persen. Jadi yang pada doyan mabok, mendingan siapin budget lebih banyak. Lalu jangan sedih juga kak, wig dan bulu mata palsu juga ikut kena dampak kenaikan tariff ini jadi 15 persen.

meski-naik-tarif-bea-impor-ri-terendah-di-dunia-HJrterendah-di-dunia-pemerintah-naikkan-tarif-bea-masuk-impor-aZqSRJghzr

Kebijakan soal kenaikan tariff impor ini sudah mengundang pro dan kontra. Pengusaha yang bergerak di industri otomotif sudah buka suara memprotes PMK tersebut karena kebijakan baru ini diklaim menurunkan tingkat penjualan, tidak hanya mobil built-up, tapi juga mobil-mobil yang meski dirakit di Indonesia, beberapa sparepart-nya masih diimpor. Tapi semua hal punya dua sisi. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia justru menyambut baik diterbitkannya PMK tersebut. Mereka berpendapat bahwa kebijakan ini diharapkan dapat memajukan industri makanan dan minuman Indonesia. Dengan adanya PMK tersebut, diharapkan gap antara tariff impor bahan baku dan barang jadi dapat diminimalisir, sehingga produsen Indonesia dapat bersaing secara kompetitif dengan produk impor.

Menilik tujuan awal penerbitan PMK, bukan sebagai sarana peningkatan pendapatan negara, tetapi dalam rangka mendorong industri dalam negeri agar lebih mampu bersaing secara kompetitif, sepertinya PMK ini bisa dibilang cukup berhasil. Tapi seperti yang saya bilang tadi, seperti koin, semua hal punya dua sisi. Okay, let’s say kita berhasil menekan impor dan melindungi industri dalam negeri dari serbuan produk-produk impor di pasaran. Tapi bagaimana pun ini tetap terlihat sebagai kebijakan yang defensif. Kita hanya bertahan dari ‘serangan’ produk-produk impor yang membanjiri pasaran. Tapi bagaimana dengan eksportir yang justru butuh pasar di luar negeri? Sudah memadai kah kebijakan pendukung untuk mereka? Hal ini sepertinya yang luput dari pengamatan para pembuat kebijakan karena terlalu sibuk defense. But hey, isn’t it said that offense is the best defense? Tapi untuk boosting ekspor kita butuh pasar yang bebas dan not being protective dan kita harus siap menawarkan hal yang sama kepada negara mitra. Again, dua sisi. Mau defense dengan protectionism, atau mau offense by promoting free trade?

Melihat dari Sisi Konsumen

Masih berkaitan dengan gaduh produk impor – produk dalam negeri, belum lama ini di timeline twitter saya muncul dua statement yang bisa dibilang bertolak belakang dalam menyikapi perlindungan dan dukungan bagi produk dalam negeri. Statement pertama mengomentari pernyataan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang menyebut bahwa gerbong kereta api produksi INKA belum layak untuk dijadikan gerbong penumpang, masih pada level gerbog barang. Karena itulah kebutuhan atas gerbong penumpang akan dipenuhi melalui impor, dari Jepang kalau tidak salah, mohon dibetulkan kalau keliru. Para tweeps menyayangkan sikap bapak Menteri tersebut dan berpendapat bahwa apabila kualitas produk dalam negeri belum sesuai dengan ekspektasi, maka seharusnya diberikan pendampingan dan dukungan bagi industri tersebut, bukan malah ditinggalkan.

Statement kedua berkaitan dengan industri seni tanah air, lebih khusus lagi, industri film. Saya membaca sebuah surat terbuka yang ditujukan bagi para pegiat seni yang berkecimpung di industri film Indonesia. Pihak-pihak yang seringkali mengeluhkan minimnya dukungan masyarakat bagi film-film produksi dalam negeri; bahwa antusiasme penonton kepada film dalam negeri tidak sespektakuler respon pada film keluaran Hollywood. Poin yang saya tangkap dari surat terbuka tersebut adalah bahwa seharusnya konsumen memiliki hak absolut dan tidak didikte dalam membuat keputusan untuk memilih dan membeli sesuatu, apakah itu produk dalam negeri atau imported goods. Konsumen seharusnya tidak diharapkan atau bahkan dipaksa untuk membeli suatu produk hanya karena produk itu ‘buatan dalam negeri’.

Sesungguhnya saya tidak dapat membawa diri untuk memihak pada salah satu kubu, karena ya, sebaiknya kita, sebagai konsumen harus ikut andil dalam mendukung eksistensi dan pengembangan produk dalam negeri. Saya suka campaign “Aku Cinta Produk Indonesia” dan “100% Indonesia” itu. Tetapi saya pun ogah jika diharuskan untuk memilih membeli suatu produk hanya karena factor negara pembuatnya saja; lalu dituduh tidak pro produk dalam negeri jika memilih membeli produk impor. Saya rasa di sini lah produsen dan konsumen harus saling bekerja sama untuk mencapai mencapai titik temu. Konsumen perlu berupaya untuk seoptimal mungkin menggunakan produk dalam negeri, terutama apabila spesifikasi yang diharapkan telah dapat terpenuhi. Di sisi lain, produsen perlu terus melakukan peningkatan kualitas untuk mencapai ekspektasi konsumen, kemudian mampu menjual produknya tanpa perlu berlindung pada label ‘produk dalam negeri’.

fotolia_69400001_consumer

Drama dan Komedi

Masih dalam suasana Hari Raya Idul Fitri, saya mewakili segenap makhluk ajaib yang menulis di mehnotes mengucapkan Minal Aidin wal Faizin serta mohon maaf lahir dan batin.

Setelah beberapa edisi mehnotes lalu yang dibombardir isu serius, mari rehat sejenak dengan membahas isu yang sedikit ringan: Film.

Film itu fleksibel. Ia bisa menjadi pengisi kekosongan waktu ketika senggang, atau justru menjadi tujuan utama ketika buku atau komik favorit diadopsi ke layar perak. Film bisa menjadi mesin pembuat ceria ketika suasana hati sedang temaram, atau menjadi teman untuk merenung ketika hati dilanda kelabu. Film juga komplit. Ia menjadi tempat bermain dan belajar (Be-O-Be-O.. Bob.. koq jadi majalah anak-anak begini?!). Banyak kesenangan dan pelajaran hidup (yang klise tapi tidak jarang benar) yang saya peroleh dari film, yang mungkin muncul karena keterbatasan dalam pergaulan atau kondisi yang tidak mendukung lainnya (misal: bagaimana tetap rendah hati walau punya kekuatan Superman). Oleh karena itu, film selalu mendapat tempat yang khusus di hati saya.

Continue reading

Komitmen Pemerintah pada Infrastruktur

Sebenernya tulisan ini telah aku kirim ke Jakarta Post, dalam bahasa Enggresnya, haha tapi mungkin bahasa Enggresku ga oke dan bahasanya muter-muter, ga jelas, ga kena, atau apalah, jadilah thejakartapost.com itu memilih untuk tidak memuatnya, huhuhu…tapi aku pantang menyerah, ayo ajari aku menulis di media massaaaaa… #malahcurhat

Oke, kembali ke laptop. Berikut tulisanku yang sudah ku modifikasi dengan lebih ringkas dan lebih gaul ^_^

Sebagaimana kita tahu infrastruktur akhir-akhir ini dirasakan sebagai salah satu isu panas di Indonesia. Bagaimana tidak, dengan luas daratan Indonesia yang mencapai 1.919.443 km, sampai tahun 2011 (data World Bank), Indonesia baru memiliki jalan tol dengan panjang 742 km. Bandingkan dengan Tiongkok dan Malaysia. Dengan total daratan 9.5 juta km, Tiongkok telah memiliki 85.000 km jalan tol, haha… Malaysia, yang hanya memiliki 330.000 km daratan bahkan telah memiliki 3000 km jalan tol. Sedih ya kakak… Bayangkan Indonesia harus membagun 18.000 km jalan tol apabila ingin disandingkan setara dengan Tiongkok dan Malaysia tersebut.

road

Continue reading

I am alone ! I need to survive !

“I am going to Australia! Yeeeeaaaay ! Woohooo ! Super cool !”

That was the only expression I had at the time I got a letter from Australian Treasury Delegation, telling me I was accepted for the secondment program in Canberra, Australia. That day, I didn’t think much but how proud I was to pass the test and how happy I was to go to the other part of the world. I mean, who wouldn’t be freaking over excited about being able to go overseas, FOR FREE ?

After couple of shoppings, some goodbye dinners with friends and family, and a lot of research about Australia, it came the day when I had to leave my lovely country. My family and my (ex)boyfriend – yes people, now I am single lol – took me to the airport to take the night flight. I wasn’t sad at all, I was totally okay. Just until I transited in Sydney airport ….

I was sitting in the terminal waiting room when I realized, “Gosh, I’ll be alone in Australia”. And trust me, it was the first time in my life I feel really lonely. I had couple of break ups and losing friends, yet, nothing felt as painful as that time. I was lost and the next time I was back on earth, I found myself crying. I spent the next couple of minutes regretting my decision to go to Australia and wondering how I could survive being alone in another country where I knew nothing about.

So after enjoying my “blue time” for awhile, I decided to move on. I rebuilt my motivation and started to live my life. My new life. I took a lot of effort on trying different ways to enjoy my time in Australia. And finally, today, right here, right now, I end up wanting to stay here for good :p

49

Continue reading

Religions Was Made by Human

gerginto

religions

Couple months ago, i wrote a blog ‘is it you or your religion ?’ and i mentioned about religions was made by human, furthermore one of my dear friends, Dessy, asked me about what i have mentioned before. Please do not assume that my blog is kind of brainwashing program or such things like that, it is just my responsibility to answer the question.

Let’s start this blog by reading Steven Weinberg statement when he had dialogue with Sir John Polkinghorne, “With or without religion, you would have good people doing good things and evil people doing evil things. But for good people to do evil things, that takes religion”. The first time i read these statement, i felt confused, does it mean religions teach us bad things or what ?

Few weeks later, after i read Weinberg’s, i read Cak Nun’s preaching. During his preaching, one of the parishioners, a…

View original post 599 more words

What’s going on, Economy? – tulisan kebingungan seorang warga negara

IMG_20150219_233616

Kalau kata media, “danger is ahead“, rupiah melemah, harga-barang-barang naik, phk, semua mengindikasikan krisis yang semakin mendekat di tengah tekanan ekonomi global yang belum juga membaik. Bahkan Tempo hari ini memberitakan Presiden yang ingin segera mengganti menteri bidang ekonomi karena indikator-indikator ekonomi tidak juga menunjukkan performa yang bagus.

Apa yang sebenarnya terjadi? Continue reading

About Me and Myself

Sejak kecil saya suka menggambar. Sayangnya gambar-gambar saya memang relatif lebih jelek dibandingkan dengan gambar teman-teman sebaya. Pernah suatu kali ketika saya kelas 3 SMP saya dapat nilai 7 untuk tugas seni rupa. Saya nggak terima. Lha wong menurut saya hasil karya saya spektakuler, tiap pulang sekolah selama seminggu saya khusyuk ngerjain tugas tersebut. Saya protes ke Bu Guru. Selanjutnya seperti yang bisa diperkirakan, saya dapat kuliah tentang cita rasa seni and bla bla bla. Singkat cerita, menurut Bu Guru hasil karya saya kurang nyeni dan nilai saya tetap cuma 7. Mmmkay. Saya legowo menerima kenyataan: Tata, kamu gak mbakat nggambar.

Hari berganti, waktu berlalu. Saya masih suka nggambar, tapi sekarang cuma sebatas bikin coret-coretan gak penting di buku catetan. Sampai pada suatu saat saya dan teman-teman bikin tantangan menggambar. Nah, meskipun tantangan ini cuma becandaan, tapi cukup bikin saya bergairah nggambar lagi. Saya beli alat-alat gambar paling mahal yang pernah saya punya. Saya googling dan nonton youtube buat belajar tutorial teknik-teknik nggambar yang baik dan benar.

Dan ketika saya melihat ke belakang, saya terharu melihat bagaimana gambar saya berevolusi.

Drawing

Gambar di kiri adalah gambar iseng-iseng yang dibuat bulan Desember 2013, yang kanan dibuat untuk drawing battle. Memang kedua gambar tersebut tidak bisa serta merta dibandingkan karena adanya perbedaan media dan hal-hal teknis lainnya. Tapi tetap saja, berhasil membuat saya bisa melihat adanya progress.

So just keep doing what makes you happy. And don’t let other people tells you who you are. Because sometime, even you, do not realize your full potential.  Hahahha sebaiknya berhenti di sini sebelum saya berubah jadi Mario Teguh. Ciao!

Mengenal Mikronasi dan Liberland

Sudah hampir sebulan sejak kali pertama saya membulatkan tekad untuk menuliskan posting ini dalam blog keroyokan ini. Semua berawal dari munculnya posting di grup Facebook “Backpacker Dunia” tentang sebuah negara baru yang tengah aktif menjual kewarganegaraannya secara daring kepada seluruh umat manusia di dunia. Tenang, tenang, ini bukan Part 2 dari tulisan “Citizenship For Sale” kok, meskipun akan menyerempet sedikit-sedikit. Memulai tulisan ini, saya terlebih dulu melakukan research kecil-kecilan dengan meng-inputNewest country in the world” di Google. Yang muncul adalah South Sudan, sebuah negara pecahan Sudan yang resmi menjadi negara sejak 9 Juli 2011. Wah, berarti negara yang ingin saya bahas ini memang masih diragukan ya statusnya? Hmm.

Adalah LIBERLAND, nama sebuah negara mikro bertitel lengkap “Free Republic of Liberland” yang terletak di selatan Sungai Danube antara negara Kroasia dan Serbia. Micronation ini memproklamasikan kemerdekaannya pada 13 April 2015 yang lalu oleh politis-aktivis Ceko dari partai liberal, Vít Jedlička. Menurut official website-nya, Liberland dapat terbentuk karena perselisihan batas Kroasia-Serbia yang masih berlanjut hingga sekarang. Kabar terakhirnya adalah baik Serbia maupun Kroasia telah menutup akses menuju negara ini pada Mei 2015 dan presiden Liberland juga ditangkap oleh otoritas Kroasia pada bulan yang sama.

Liberland ditandai dengan area berwarna hijau dengan tulisan "Siga" pada peta

Wilayah Liberland adalah area berwarna hijau dengan tulisan “Siga” pada peta

Coba lihat peta di atas, betapa mungilnya ukuran negara ini! Dengan luas wilayah kurang lebih 7 km² Liberland merupakan negara sovereign terkecil ketiga setelah Vatikan dan Monaco. Inilah wilayah terra nullius yang tidak dikuasai oleh negara mana pun sehingga dapat diambil alih melalui pendudukan (occupation), dan itulah yang dilakukan oleh Vit Jedlicka. Selain Vit Jedlicka, Liberland tidak memiliki warga negara ataupun penduduk.

Continue reading