Cinta di Tengah Kengerian Perang: Resensi Ala-Ala

cymera_20150627_122016

(i)

Aku sudah menyurat padamu dua puluh kali dari kota terkutuk ini, dan kau jawab dengan tujuh belas surat. Sekarang aku akan menyurat satu kali lagi saja, lalu sudah. Ya, lama kupikir-pikir bagaimana caranya menyusun satu kalimat yang afdol hingga bisa memuat segalanya tapi tetap tidak terlalu melukai hati juga.

Aku ingin mengucapkan selamat berpisah kepadamu, karena sejak pagi ini segalanya sudah jelas. Aku tidak akan berkomentar tentang situasi militer di suratku ini. Sudah jelas dan pasti, semuanya di tangan Rusia. Satu-satunya pertanyaan adalah berapa lama lagi kami masih akan disini. Barangkali kami dapat bertahan beberapa hari lagi atau beberapa jam saja. Seluruh kebersamaan kita dalam menempuh kehidupan ini telah kita reguk. Kita saling hormat, saling cinta, dan saling tunggu selama dua tahun. Syukurlah bahwa telah banyak waktu yang terlewatkan. Tentu saja, waktu yang panjang itu memperbesar keinginan untuk berkumpul kembali, tetapi juga banyak membantu merenggangkan hubungan kita. Dan sang waktu pasti akan menyembuhkan luka-luka hati yang disebabkan oleh ketidakpulanganku.

 Januari nanti usiamu 28. Itu masih sangat muda untuk seorang wanita secantik kamu, dan aku senang karena masih punya kesempatan menyampaikan pujian ini berkali-kali. Kau akan kangen, merasa sangat kehilangan aku, tapi meskipun begitu janganlah lalu menarik diri dari pergaulan. Berkabunglah beberapa bulan, tapi jangan lebih lama dari itu. Gertrud dan Claus membutuhkan seorang ayah. Janganlah lupa, engkau harus hidup demi anak-anakmu, dan jangan banyak bicara dengan anak-anak itu tentang ayah mereka. Perhatikan baik-baik pria yang kau pilih, simaklah matanya dan rasakan kemantapan genggaman tangannya waktu bersalaman, seperti yang kita lakukan dulu, maka kau tidak akan keliru. Tetapi yang terpenting, asuhlah anak-anak supaya menjadi manusia lurus, yang sanggup tegak mengangkat muka dan bertatap mata dengan siapa pun.

 Baris-baris surat ini kutulis dengan perasaan berat menindih. Kau tentunya tidak akan percaya andaikata kukatakan bahwa ini semua keluar dengan lancar dan ringan. Tetapi janganlah cemas, aku tidak gentar menghadapi apa yang akan terjadi nanti. Teruslah yakinkan dirimu sendiri dan katakan pula pada anak-anak kalau mereka sudah besar bahwa ayah mereka tidak pernah punya watak pengecut, dan mereka pun tidak boleh menjadi pengecut [.]

(ii)

Baru saja Sersan Kepala mengatakan kepada ayah bahwa ayah tidak bisa pulang merayakan Natal. Ayah katakan kepadanya bahwa dia harus menepati janji, dan ayah lalu disuruh menghadap Pak Kapten. Pak Kapten berkata bahwa yang lain-lain pun tadinya ingin berlibur Natal, mereka juga sudah berjanji pada keluarga tetapi terpaksa tidak menepatinya. Bukan salah Pak Kapten kalau kami tidak dapat berlibur sekarang. Kami sudah harus bersyukur bahwa masih hidup, kata Pak Kapten, dan perjalanan panjang di musim dingin yang beku ini toh akan sulit juga nanti.

Maria buah hatiku, jangan Maria marah karena ayah tidak dapat pulang liburan, ya? Ayah sering membayangkan rumah kita dan si kecil Luise. Apakah dia sudah bisa tertawa? Bagaimana pohon Natalnya di rumah, bagus? Sebetulnya kami bisa menghias pohon Natal juga di sini, asalkan tidak pindah ke pos lain. Tapi ayah tidak ingin terlalu banyak menulis tentang keadaan disini, nanti Maria jadi menangis. Ini ayah kirimkan foto; di foto ini ayah punya jenggot; foto ini dibuat tiga bulan yang lalu di Kharkov oleh teman ayah. Banyak desas-desus di sini, tapi entahlah. Kadang-kadang ayah takut kita tidak akan bertemu lagi. Heiner dan Krefeld mengatakan bahwa soal seperti ini jangan ditulis karena hanya akan membuat keluarga di rumah cemas. Tetapi bagaimana kalau kenyataannya memang begitu?

Maria, sayangku Maria, ayah ini cuma berbicara berbelit-belit saja. Sebetulnya Pak Sersan Kepala itu berkata bahwa sesudah ini tidak akan ada hubungan pos lagi. Karena tidak akan ada lagi pesawat yang dapat diterbangkan keluar dari sini. Ayah tidak bisa bohong. Dan sama sekali sudah tidak ada harapan lagi bahwa ayah dapat pulang untuk cuti. Ingin sekali rasanya bertemu satu kali lagi saja denganmu. Aduh, berat sekali rasanya. Kalau Maria menyalakan lilin-lilin Natal, ingatlah ayahmu di Stalingrad [.]

—–

Januari tahun 1943. Tujuh buah tas berisi surat-surat para tentara Jerman yang diangkut pesawat terbang terakhir yang meninggalkan Stalingrad ditahan oleh Komando Tinggi Jerman. Alamat tujuan dan nama pengirim dihilangkan, dan surat-surat itu dianalisis untuk mempelajari moril pasukan di medan laga. Hasil analisisnya sangatlah memukul regim NAZI kala itu hingga surat-surat tadi dipetikan, dikunci rapat dalam arsip angkatan perang Jerman.

Dua surat yang saya salin untuk mengawali tulisan ini adalah dua surat favorit saya. Dua dari (hanya) tiga puluh sembilan surat yang masih bisa terselamatkan sesudah kekalahan NAZI Jerman di PD II, untuk kemudian dibukukan menjadi “Last Letters from Stalingrad”  terbitan The American Library of World Literature (1965). Surat pertama dikirim oleh seorang suami dan ditujukan pada istrinya, sementara surat kedua dikirim oleh seorang ayah untuk anak perempuannya. Meski memiliki konteks yang berbeda, keduanya punya kesamaan: setiap surat dikirimkan kepada satu orang, oleh seseorang yang sadar dan tahu bahwa itu adalah kata-kata penghabisan yang dapat ditulisnya.

Membaca satu per satu surat-surat dalam buku ini akan menuntun kita menemukan kisah tentang pengakuan yang jujur tentang kekalahan dan kebodohan mengapa perang harus digelar. Para kesatria yang berangkat berjuang demi negeri dengan semangat yang berapi-api (juga diiringi upacara yang meriah dan berwarna, penuh gegap gempita) justru menemukan sendiri alasan paling rasional mengapa perang harus ditolak, ketika mereka berjibaku di medan laga. Harapan kehidupan yang semakin menipis, rasa frustasi dan keterpisahan, juga derita yang begitu menyakitkan adalah realitas manusiawi yang mesti mereka hadapi.

Kita seringkali lupa bahwa perang adalah proses mengirim para prajurit ke medan laga untuk meregang nyawa. Saat kita menyalakan televisi dan mendengar berita soal perang, itu semua hanyalah berita soal angka: jumlah peluru yang dihabiskan, jumlah tank yang terbakar, jumlah pesawat yang jatuh, jumlah prajurit yang meninggal. Tak lebih dari sekadar hitung-hitungan statistik belaka. Meninggalnya prajurit di medan perang pun diganti dengan kata “gugur”. Mungkin terasa harum, tapi tetap saja,  bagi keluarga yang ditinggalkan, masa depan tak menentu adalah realitas yang harus mereka hadapi di kemudian hari.

Benarkah perang dan mengirim para prajurit untuk saling berhadapan adalah sesuatu yang layak untuk dilakukan? Untuk yang satu ini agaknya saya sependapat dengan perkataan Munir dalam epilog buku ini: perang, di era modern, adalah kekonyolan yang abadi.

Leave a comment