From 7 to 27

Kadang, yang kita butuhkan adalah satu keputusan spontan tanpa banyak pertimbangan. Just do it, and think about it later. Keputusan spontan juga yang membawa saya sampai ke Korea Selatan, dua bulan lalu. Waktu denger ada temen kantor yang udah ngegeng mau liburan ke Korea, saya langsung memberanikan diri ijin nebeng, lalu langsung beli tiket. Gitu aja, ga pake mikir lagi.. Baru lah setelah tiket dibeli, mulai pusing mikir apply visa, hunting jaket (yang akhirnya minjem temen), sampe printilan semacam browsing skincare yang mumpuni untuk survive di cuaca dingin dan kering di Seoul nanti. Trust me, you don’t want to travel with ugly cracked facial skin.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk share tentang lokasi-lokasi wisata mana aja yang saya kunjungi selama di Korea, betapa cantiknya objek wisata itu, gimana cara ke sana, and so on. We have lots of travel books written for that. Instead, saya ingin berbagi tentang hal-hal kecil yang sederhana, tapi memorable buat saya.

Jatu 160530e.jpg

ilustrasi – sumber:pexels.com

Continue reading

Dilema Produk Dalam Negeri : Antara Free Trade dan Protectionism

Dilema Produk Dalam Negeri : Antara Free Trade dan Protectionism

protectiofreetrade

Pikiran ini diawali dari terpapar berbagai informasi tentang kerja sama perdagangan bebas Indonesia, baik kerja sama yang sudah berjalan maupun yang masih dinegosiasikan, baik yang dibangun secara bilateral maupun dalam lingkup regional. Ada dua kubu dalam isu ini: yang liberal menjadi pendukung kebijakan pembukaan pasar seluas-luasnya demi optimalisasi manfaat ekonomi, sedangkan kubu yang lain gigih menahan agar sektor-sektor industri tertentu tetap terlindung dari perdagangan bebas karena dianggap belum cukup kuat dan mungkin kolaps jika harus bersaing dengan industri asing yang telah lebih mapan.

Lalu saya membaca salah satu chapter dari buku karangan Ha-Joon Chang yang berjudul “23 Things They Didn’t Tell You about Capitalism”. Chapter ketujuh yang diberi judul “Free-Market Policies Rarely Make Poor Countries Rich” itu secara khusus bercerita tentang kebijakan perdagangan bebas dan mempertanyakan statement bahwa sistem perdagangan bebas akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang optimal bagi suatu negara. Bahwa (developed) rich countries telah mencapai posisinya saat ini dengan menerapkan kebijakan perdagangan bebas tersebut.  Poin yang disampaikan Ha-Joon Chang tentang hal ini adalah bahwa jika dirunut lebih lanjut ke belakang, sampai pada tahun 1780-1800an, negara-negara yang saat ini tergolong sebagai developed country, justru membangun ekonominya melalui kebijakan protectionism yang sangat kuat, bukan kebijakan perdagangan bebas yang saat ini dianggap sebagai yang terbaik dalam pembangunan ekonomi negara. Pondasi perekonomian mereka adalah proteksionisme, bukan perdagangan bebas. Ha-Joon Chang memperkuat argumentasinya dengan mengambil contoh China dan Amerika Serikat.

China adalah salah satu kekuatan ekonomi besar dunia yang telah dikenal sebelumnya sebagai negara yang tertutup dan protektif terhadap industri dalam negerinya. Spesifik pada kasus Amerika Serikat, Ha-Joon Chang menunjukkan bahwa perekonomian Amerika Serikat, dibangun sejak 300 tahun yang lalu dengan proteksi-proteksi yang diberikan oleh para pengambil kebijakan, termasuk Treasury Secretary, Alexander Hamilton; George Washington; Abraham Lincoln; dan Benjamin Franklin. Hamilton berpandangan, yang juga sejalan dengan pemikiran George Washington, bahwa infant industries, seperti industri-industri Amerika Serikat pada saat itu harus dilindungi dan didukung oleh pemerintah sampai industri tersebut sanggup untuk berdiri sendiri. Di sisi lain, Abraham Lincoln, yang meneruskan kebijakan Hamilton, telah dikenal sebagai protectionist yang menetapkan tariff sangat tinggi pada masa kepemimpinannya. Benjamin Franklin juga melakukan proteksi terhadap produk Eropa untuk melindungi produk industri Amerika Serikat dari produk sejenis dari Eropa yang unggul karena upah yang lebih rendah.

Sejatinya saya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Alexander Hamilton, bahwa pemerintah harus membantu, mendukung dan jika memungkinkan melindungi infant industries agar mampu survive dalam persaingan. Pertanyaannya, sampai sejauh mana dukungan yang harus diberikan? Sampai kapan? Bagaimana menilai bahwa infant industry tersebut telah tumbuh dan mampu bertahan sendiri tanpa dukungan pemerintah lagi? Bagaimana jika nanti infant industry yang didukung tersebut turns out to be old adolescent, yang tidak akan pernah sanggup bertahan tanpa support dari pemerintah?

20130902_protectionism

Peningkatan Tarif Impor

Kementerian Keuangan baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 132 Tahun 2015 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor. PMK tersebut dirumuskan oleh Tim Tarif yang beranggotakan perwakilan dari Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Dalam PMK tersebut diatur kenaikan tariff impor beberapa produk konsumsi. Rata-rata tariff bea masuk impor atas barang-barang konsumsi itu naik 5 persen. Karena targetnya memang barang konsumsi alias barang jadi, makanya banyak produk-produk makanan yang tariff impornya naik. Salah satunya teh dan kopi impor; jadi sekarang kita ngopi-ngopinya di An*mali aja, yang mengklaim kopi mereka 100% asli produk lokal, trus rajin-rajin deh bikin konser atau kegiatan apapun di hotel kece, biar bisa ngeteh Tw*nnings grateess.. Wine, vermouth, whiskey, rum adalah produk yang kena tariff impor paling emejing: 90-150 persen. Jadi yang pada doyan mabok, mendingan siapin budget lebih banyak. Lalu jangan sedih juga kak, wig dan bulu mata palsu juga ikut kena dampak kenaikan tariff ini jadi 15 persen.

meski-naik-tarif-bea-impor-ri-terendah-di-dunia-HJrterendah-di-dunia-pemerintah-naikkan-tarif-bea-masuk-impor-aZqSRJghzr

Kebijakan soal kenaikan tariff impor ini sudah mengundang pro dan kontra. Pengusaha yang bergerak di industri otomotif sudah buka suara memprotes PMK tersebut karena kebijakan baru ini diklaim menurunkan tingkat penjualan, tidak hanya mobil built-up, tapi juga mobil-mobil yang meski dirakit di Indonesia, beberapa sparepart-nya masih diimpor. Tapi semua hal punya dua sisi. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia justru menyambut baik diterbitkannya PMK tersebut. Mereka berpendapat bahwa kebijakan ini diharapkan dapat memajukan industri makanan dan minuman Indonesia. Dengan adanya PMK tersebut, diharapkan gap antara tariff impor bahan baku dan barang jadi dapat diminimalisir, sehingga produsen Indonesia dapat bersaing secara kompetitif dengan produk impor.

Menilik tujuan awal penerbitan PMK, bukan sebagai sarana peningkatan pendapatan negara, tetapi dalam rangka mendorong industri dalam negeri agar lebih mampu bersaing secara kompetitif, sepertinya PMK ini bisa dibilang cukup berhasil. Tapi seperti yang saya bilang tadi, seperti koin, semua hal punya dua sisi. Okay, let’s say kita berhasil menekan impor dan melindungi industri dalam negeri dari serbuan produk-produk impor di pasaran. Tapi bagaimana pun ini tetap terlihat sebagai kebijakan yang defensif. Kita hanya bertahan dari ‘serangan’ produk-produk impor yang membanjiri pasaran. Tapi bagaimana dengan eksportir yang justru butuh pasar di luar negeri? Sudah memadai kah kebijakan pendukung untuk mereka? Hal ini sepertinya yang luput dari pengamatan para pembuat kebijakan karena terlalu sibuk defense. But hey, isn’t it said that offense is the best defense? Tapi untuk boosting ekspor kita butuh pasar yang bebas dan not being protective dan kita harus siap menawarkan hal yang sama kepada negara mitra. Again, dua sisi. Mau defense dengan protectionism, atau mau offense by promoting free trade?

Melihat dari Sisi Konsumen

Masih berkaitan dengan gaduh produk impor – produk dalam negeri, belum lama ini di timeline twitter saya muncul dua statement yang bisa dibilang bertolak belakang dalam menyikapi perlindungan dan dukungan bagi produk dalam negeri. Statement pertama mengomentari pernyataan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang menyebut bahwa gerbong kereta api produksi INKA belum layak untuk dijadikan gerbong penumpang, masih pada level gerbog barang. Karena itulah kebutuhan atas gerbong penumpang akan dipenuhi melalui impor, dari Jepang kalau tidak salah, mohon dibetulkan kalau keliru. Para tweeps menyayangkan sikap bapak Menteri tersebut dan berpendapat bahwa apabila kualitas produk dalam negeri belum sesuai dengan ekspektasi, maka seharusnya diberikan pendampingan dan dukungan bagi industri tersebut, bukan malah ditinggalkan.

Statement kedua berkaitan dengan industri seni tanah air, lebih khusus lagi, industri film. Saya membaca sebuah surat terbuka yang ditujukan bagi para pegiat seni yang berkecimpung di industri film Indonesia. Pihak-pihak yang seringkali mengeluhkan minimnya dukungan masyarakat bagi film-film produksi dalam negeri; bahwa antusiasme penonton kepada film dalam negeri tidak sespektakuler respon pada film keluaran Hollywood. Poin yang saya tangkap dari surat terbuka tersebut adalah bahwa seharusnya konsumen memiliki hak absolut dan tidak didikte dalam membuat keputusan untuk memilih dan membeli sesuatu, apakah itu produk dalam negeri atau imported goods. Konsumen seharusnya tidak diharapkan atau bahkan dipaksa untuk membeli suatu produk hanya karena produk itu ‘buatan dalam negeri’.

Sesungguhnya saya tidak dapat membawa diri untuk memihak pada salah satu kubu, karena ya, sebaiknya kita, sebagai konsumen harus ikut andil dalam mendukung eksistensi dan pengembangan produk dalam negeri. Saya suka campaign “Aku Cinta Produk Indonesia” dan “100% Indonesia” itu. Tetapi saya pun ogah jika diharuskan untuk memilih membeli suatu produk hanya karena factor negara pembuatnya saja; lalu dituduh tidak pro produk dalam negeri jika memilih membeli produk impor. Saya rasa di sini lah produsen dan konsumen harus saling bekerja sama untuk mencapai mencapai titik temu. Konsumen perlu berupaya untuk seoptimal mungkin menggunakan produk dalam negeri, terutama apabila spesifikasi yang diharapkan telah dapat terpenuhi. Di sisi lain, produsen perlu terus melakukan peningkatan kualitas untuk mencapai ekspektasi konsumen, kemudian mampu menjual produknya tanpa perlu berlindung pada label ‘produk dalam negeri’.

fotolia_69400001_consumer

The Mighty Magic Com

2301310335_666ea0aeb8_o

Magic-com atau penanak dan penghangat nasi ini sepertinya barang yang umum ada di kamar-kamar kosan. Termasuk saya. Magic com kecil di kamar saya ini dibeli di bulan-bulan pertama saya tinggal sendiri di ibukota, ketika harus mulai masak sendiri, mikir sendiri mau makan apa hari itu. Juga karena area kosan saya bukan surga kuliner, cuma ada satu warung masakan padang di sebelah kosan, tukang nasi/mi goreng yang cuma enak mi gorengnya, dan ayam goreng yang minyaknya entah sudah dipake berapa kali goreng. Kebanyakan dari mereka pun baru buka malam hari. Praktis ketika pagi sampai sore ketika weekend tiba dan saya memang berniat gegoleran di kosan aja, urusan cari makan jadi rumit. Ada sih semacam warteg yang buka menjelang makan siang, tapi sayangnya dipenuhi om-om genit sok ikrib. Ergh. Dan lagi saya juga pemalas maksimal, yang suka males keluar kosan kalo hari udah panas. Haha. Jadilah, solusi atas itu semua ya masak sendiri.

Urusan memasak buat anak kosan memang susah-susah-gampang. Bagi yang kosannya deket pasar tradisional dan menyediakan dapur, masak sendiri bukan perkara susah. Saya cukup beruntung karena di kosan ada dapur bersama yang biasa dipake barengan sesama penghuni kosan. Dengan bayar iuran gas bulanan ke bapak kosan, saya bisa bebas masak seheboh apapun. Tapi ya, keberadaan dapur bukan sesuatu yang tak tergantikan. Dear dapur, don’t you ever for a second get to thinking you’re irreplaceable, kalo kata mbak Beyoncé. Sangat membantu memang kalo ada dapur, tapi bukan berarti tak bisa disubtitusikan. Di sini lah magic com pegang peran.

Continue reading

MENGUKUR NILAI MANUSIA

gambar dari thenextweb.com

Mengukur nilai manusia. Bukan, tulisan ini bukan mau bicara panjang lebar tentang akhlak atau hal-hal agamis lainnya. Stop berprasangka. Tulisan ini lebih berkaitan dengan kasih skripsi tak sampai saya semasa kuliah dulu, sebagai mahasiswa sebuah fakultas ekonomi jurusan akuntansi. Sebuah jurusan yang menjanjikan kebotakan karena pusing menghitung harta yang bukan miliknya dan tak pernah dilihat wujudnya.

Continue reading

Decoding Hangeul

King Sejong. (taken from Google Images)

Yes, hangeul. Hangeul, alfabet Korea yang hanya terlihat sebagai kode berbentuk bulatan dan garis-garis ketika saya belum mempelajarinya. Hangeul sendiri dirumuskan oleh Raja Sejong—The Great King Sejong, people called him—yang patungnya dengan pose duduk di singgasananya sering sekali terlihat kalau menonton drama atau acara televisi Korea yang menggambil setting di Gwanghwamun Square. Raja Sejong membuat Hangeul karena ia memandang bahwa karakter huruf Tiongkok terlalu sulit untuk dipelajari oleh rakyat biasa. Di jaman dulu, cuma para bangsawan, dan umumnya laki-laki yang bisa membaca dan menulis dalam huruf Tiongkok dengan lancar. Konon katanya, mayoritas penduduk Korea masih buta huruf sebelum Hangeul diciptakan.

Continue reading