RUMAHKU SURGAKU

image from: wikipedia

Bingung deh mau nulis apa. Harap maklum lah ya, otaknya keseringan dipaksa diajak mikir redaksi Nota Dinas (yang cuma gitu-gitu aja). Long story short, tiba-tiba kepikiran nulis dengan tema “rumah”.  Untuk orang-orang yang udah punya pekerjaan tetap, udah bosen sering ditanya kapan nikah atau malah udah nikah, maka kepemilikan rumah bisa jadi ide yang mulai mengganggu pikiran. Berikut ini ceritanya ingin membagi beberapa contoh item yang saya dapat dipertimbangkan ketika memilih rumah. Some of pertimbangannya dibuat untuk mereka yang mencari nafkah di Jakarta ya, tapi pada umumnya bisa koq diterapkan di daerah manapun di Indonesia.

Letak

Lokasi ini bisa terkait dengan beberapa hal penting, seperti

  • Di pusat pemerintahan kah atau daerah penyangganya?

Tsaelah belibet dah. Maksudnya pengen menyebutkan pilih di Jakarta apa Detabek-nya. Untuk yang kerja di Jakarta, punya rumah di Jakarta udah pasti banyak positifnya, karena istilahnya tinggal lari aja ke kantor (ga bisa pake istilah ngesot kalo di Jakarta, karena kemana-mana lama dan berasa jauh). Ngirit ongkos dan ngirit waktu. Tapi biasanya lumayan mahal harganya, dengan ukuran dan lingkungan yang ga banyak pilihannya kecuali punya banyak duit.

  • Akses transportasi

Untuk yang punya wacana beli rumah di daerah penyangga, maka wajib mempertimbangkan akses transportasi (jarak tempuh ke pintu tol, terminal, atau stasiun, atau apakah jalan depan komplek dilewatin angkot ke beberapa jalan utama). Untuk perkara akses ini bisa tuh sering-sering baca media massa atau ngobrol sama teman yang udah tinggal di sekitar lokasi itu untuk cari tahu program pengembangan daerah yang dibikin sama pemdanya. Atau ngegosip sama pegawai KAI atau Jasa Marga, kali-kali aja nanti beberapa tahun kedepan sambil cek stok sabarnya, kira-kira mencukupi ga akan ada stasiun, MRT, pintu tol atau malah bandara internasional yang deket ke lokasi inceran.

  • Jarak dengan tempat publik

Item ini juga penting untuk dipertimbangkan, misalnya ke arah mana rumah sakit terdekat, berapa jaraknya dengan sekolah negeri (yang OK tapi murah), ada berapa banyak tempat makan yang enak (untuk yang males masak seneng wisata kuliner), atau ada berapa taman kota dan Mall yang ada di sekitarnya (penting untuk rekreasi dan menarik teman-teman untuk berkunjung);

  • Bebas banjir.

Ini bukan berarti banjir bebas masuk ya. Kalau lagi iseng nyari rumah api sebisa mungkin lihat akses pembuangannya, misal ukuran selokannya. Ada aja kan rumah OK yang selokannya cuma selebar jengkal, trus ditutup pula, jadi ga bisa dicek dan susah dibersihkan.  Mungkin ga akan jadi banjir besar sih, tapi selokan yang mampet itu bikin dunia serasa mau kiamat deh, percayalah!

  • Air bersih

Nyuci sih bisa ya ke laundry, tapi kalau mandi gimana. Ga mungkin terus-terusan nebeng mandi di kantor kan. Nah untuk perkara ini, katanya sih tergantung dari tanah di mana rumah itu dibangun. Cluster saya dibangun di atas sumber air, jadi airnya bening dan debitnya pun kenceng. Sedangkan blok yang berbeda meski masih satu perumahan, dibangun di atas rawa, jadi airnya agak bau dan warnanya pun ga jernih-jernih banget. Eh tapi, air di rumah saya dan air di rumah sebelah juga beda sih. Jadi ada faktor luck juga disini kayanya. Dan bukan ga bisa diakalin koq, kan ada “PU*E IT” yang bisa mengubah air kotor jadi jernih dan layak minum.

Lingkungan

Lingkungan disini misalnya apakah rumah itu berada di perumahan berisi keluarga muda yang cenderung sepi atau kampung yang udah jadi yang banyak tetua, banyak anak-anak (anak ataupun cucu) dan selalu rame. Semua pasti ada plus minusnya lah ya. Rumah-rumah baru biasanya berada di lingkungan yang baru juga, kanan kiri usia penghuninya  sebaya,  anak-anaknya masih kecil. Asik sih untuk orang yang ga seneng “nonggo” (main/ngobrol dengan tetangga), jadi privacynya lebih terjaga gitu. Dan biasanya (lagi) secara demografis (pendidikan, pekerjaan) karakter penghuninya hampir sama. Tapi ga enaknya, model perumahan kaya gini biasanya sepi, kegiatan warga juga minim, jadi agak kurang guyub gitu. Dan jadi ga banyak warung, karena biasanya mayoritas adalah pekerja atau kalo ada ibu rumah tangga pun, ibu rumah tangga modern yang jualannya online, ga buka toko kelontong. Kalau beli rumah di lingkungan yang udah jadi, tinggal cek kebalikannya penjelasan tadi aja.

Nah saya milih tinggal di lingkungan yang pertama, karena pada dasarnya saya tipe orang yang gampang terganggu dengan suara-suara kurang menyenangkan, seperti knalpot motor modifikasi, suara ibu-ibu berteriak marahin anaknya di pinggir jalan, atau lihat balita disuapin sambil muter kompleks. Dan karena emang pada dasarnya saya ga terlalu seneng “nonggo” itu tadi, jadi lingkungan pertama terasa lebih masuk akal buat saya.

Ukuran rumah

Ukuran rumah sekarang ini makin mini deh, sesuai dengan semangat minimalis. Ada yang ukuran 4×5, 36/60, 36/72, 45/70, 45/96, 60/72, 60/120 sampe yang 220/270 dan tak terhingga. Yang ukuran gede ga usah  dibahas lah ya, bayanginnya aja susah. Kita bahas yang mini-mini aja. Menurut pengalaman, biasanya rumah dengan tipe 36 dan 45 (yang masih asli tangan pertama) itu punya 2 kamar, bentuknya pun blong (tanpa sekat) kaya lapangan gitu dan belom ada dapurnya. Jadi harus nambah dapur sendiri. Nambah bangunan berarti nambah biaya, pikiran, dan wajib menyediakan supervisi.

Untuk mempertimbangkan pilihan ukuran rumah, yang paling enak emang kalo ada rumah contohnya (untuk perumahan baru). Biasanya di rumah contoh itu udah dilengkapi dengan furniturenya, yang ditata sedemikian rupa, sehingga kita bisa memperkirakan nanti mau naruh barang apa aja. Untuk orang-orang yang kemampuan spasialnya di bawah rata-rata (seperti saya), ini sangat membantu. Dan yang utama (buat saya) untuk dilihat juga adalah seberapa besar dan berapa jumlah jendelanya. Ini penting banget untuk kesehatan dan ke-awet-an barang-barang di rumah. Lembab = jamur, jamur = penyakit buat manusia maupun furniture.

Harga

Yang ini ga usah dijelaskan lah ya. Semua juga udah tau, ada harga ada rupa.

Hati

Ketika sudah mempertimbangkan hal-hal diatas, selanjutnya yang ga kalah penting adalah bertanya pada HATI. Klise yaaa… tapi ya emang bener. Kasarnya duit bisa dicari, tapi kalo ga sreg di hati, ya ngapain bela-belain bayar kredit KPR yang bunganya kaya ngajakin bunuh diri, meskipun rumahnya kece dan cantik kaya istananya Syahrini (rhyme ya :P). Apalagi buat para istri nih. Kalo kata mantan pacar saya, istri itu lebih berhak milih, karena klo ada ga cocoknya istri yg lebih merasa, dan kalo ada yang harus dibersihin juga istri yang beresin (sounds wise ha?).

Well, last but not least, buat saya beli rumah itu kaya jodoh sih. Ibaratnya aku suka, kamu ga suka ya ga jadi. Giliran aku suka kamu suka, bapaknya ga suka, gagal juga. Akhirnya ketika  aku suka, kamu suka, bapaknya juga suka, eh  ternyata beda agama. Hah ngelantur… Balik lagi ke laptop… Rumah juga gitu, kitanya suka, tapi kantong ga suka. Kantong nya suka, kitanya ga suka. Giliran kita dan kantong suka, ternyata banjir juga suka.

Maafkan postingan random ini. Semoga bermanfaat.

Leave a comment